Cerpen "Merpati Terbang Bersama Peluru"
Cerita pendek ini hanyalah fiksi belaka dan tidak ada tujuan untuk menyudutkan pihak manapun. Cerita ini terinspirasi dari surat dari tawanan Israel yang dipublikasikan oleh Militer Al Qassam.
Merpati Terbang Bersama Peluru
Bagi Danielle ini akan menjadi suatu pengalaman yang tidak akan pernah bisa ia lupakan. Sebuah kejadian dimana seluruh argumentasinya dipatahkan dengan begitu mudah. Kejadian tersebut juga mengubah jalan pikir serta anggapan terhadap bangsa yang didikte sebagai perebut tanah kelahirannya.
Danielle menduga tatkala ia digiring oleh para tentara musuh seluruh tubuhnya akan merasakan dingin dan takut yang luar biasa serta sakit yang belum pernah ia rasakan. Namun, yang paling ia khawatirkan adalah nasib yang akan menimpa Emilia , putrinya yang masih berumur 5 tahun. Saat itu ia hanya bisa terus menangis seraya memeluk erat tubuh putrinya tersebut.
Sampailah ia di kemah militer musuh sebagai tawanan perang. Sepanjang waktu pikiran Danielle hanya dipenuhi oleh kegundahan bahwa mereka akan disiksa, dihina, hingga yang terakhir mungkin dibunuh. Mereka pun diminta turun dari mobil, Danielle melihat seorang tentara berusaha membantu seorang lansia untuk turun. Itu sedikit mengganggu pikirannya karena itu tidak ada dalam daftar sangkaan yang ia buat. Tapi ia belum peduli dan lebih memilih untuk memeluk Emilia . Para tentara membawa mereka memasuki sebuah tenda yang berisi jejeran tempat tidur.
“Hari menjelang gelap, kalian bisa beristirahat di sini,” ucap seorang jenderal. “Makanan hampir siap, jadi kami mohon kepada kalian untuk sedikit bersabar,”
Jelas hal itu tidak seperti yang dibayangkan oleh para tawanan. Para tentara tersebut akhirnya keluar dari tenda untuk beribadah seperti sayup-sayup yang kudengar dari pembicaraan mereka. Kami pun menuju ke ranjang-ranjang yang sudah telah mereka siapkan.
Waktu makan malam tiba, kami pun digiring kembali ke kemah dapur. Namun begitu kami tiba disana, tak ada satupun dari kami yang mau makan. Tentu saja kami berprasangka bahwa makanan tersebut telah berisi sesuatu yang tidak seharusnya masuk ke dalam tubuh manusia.
Emilia mulai menangis, Danielle yakin putrinya tersebut mulai merasa lapar. Aku berusaha menenangkannya. Namun tangisan tersebut menarik perhatian salah seorang tentara. Danielle melihat ia memanggil rekannya lalu membisikkan sesuatu. Hal tersebut tentu membuat Danielle semakin takut mereka merencanakan sesuatu kepada putri semata wayangnya.
“Apakah kalian semua sedang berpuasa?” tanya jendral.
Tidak ada yang menjawab. Suasana benar-benar hening. Jenderal memperhatikan setiap wajah tawanannya hingga akhirnya ia mengerti mengapa mereka tidak mau menyentuh makanan yang sudah para tentara siapkan.
Tanpa berpikir panjang ia pun langsung mendekati panci besar di dekat meja prasmanan. Ia mengambil sendok lalu mencicipi makanan tersebut. Tak lupa ia mencicipi setiap makanan yang berada di atas meja, bahkan minuman untuk para tawanan.
“Aku yakin beberapa dari kalian telah mengetahui siapa diriku,” ucapnya kemudian. “Kalian tidak perlu khawatir, kami akan memperlakukan kalian dengan baik. Kami minta, apapun yang kalian butuhkan, bicaralah!”
Jenderal pun mengangkat tangannya mempersilahkan para tawanan untuk makan. Akhirnya keraguan mereka sedikit berkurang dan mulai memberanikan diri untuk menerima nampan makanan yang disodorkan oleh seorang tentara.
Tatkala hari semakin gelap, para tawanan pun kembali ke kemah peristirahatan. Disitu Danielle mengalami kesulitan untuk membuat Emilia tidur. Gadis tersebut kemudian turun dari ranjang dan berusaha berlari ke luar. Danielle pun mengejar. Namun gadis tersebut menabrak seorang tentara yang sedang berpatroli. Bukannya marah, ia kemudian mengangkat tubuh Emilia dan menggendongnya.
“Kamu mau kemana?” tanyanya berusaha bercanda dengan Emilia. “Kau mau permen?” ia merogoh sakunya dan mengambil sebuah lollipop yang ia dapatkan dari gudang penyimpanan makanan. Emilia menerimanya dengan senang. Tentara tersebut kemudian melihat ke arah Danielle yang membiarkan bermain dengan putrinya.
“Kau mau lagi?” tanyanya kemudian.
Emilia mengangguk.
“Kalau kau mau lebih banyak, kau harus istirahat bersama ibumu, ?”
Gadis tersebut pun setuju. Akhirnya tentara tersebut menghantarkannya pada sang ibu.
“Udara lebih dingin di malam hari, akan kuambilkan selimut lagi untuk putrimu,”
“Bangsa kami telah membuat kalian menderita, kalian bisa saja membunuh kami semua, mengapa kalian masih begitu baik pada kami?”
“Kebanyakan dari kalian hanyalah lansia, kalian bahkan tidak bersenjata, kalian jelas bukanlah ancaman bagi kami. Rasul kami memerintahkan untuk berbuat baik terhadap tawanan perang. Kau perlu berpikir kembali, apakah pantas bagi kami yang bersenjata besar melawan anak semegemaskan ini?”
Lisan Danielle terasa kelu. Ia tak habis pikir dengan cara para tentara tersebut memperlakukan musuhnya. Ini benar-benar berbeda dengan apa yang telah benaknya tuduhkan terhadap mereka.
Hari-hari berikutnya Emilia merasa sangat dekat dengan mereka. Mereka tak ragu memenuhi semua yang diinginkan gadis tersebut. Kadang kala Emilia masuk ke kamar mereka untuk mengajak bermain, dan mereka menurutinya. Bahkan mereka rela berjam-jam menemani Emilia untuk bermain.
“Aku punya sesuatu untukmu,” ucap tentara yang pernah memberikannya permen.
“Apa?” tanya Emilia.
Dari tasnya tentara tersebut mengeluarkan sesuatu, sebuah boneka. Wajah Emilia seketika sumringah dan segera mengambil boneka tersebut.
“Terimakasih,” ucapnya.
“Kau suka?”
Ia mengangguk.
Danielle kemudian menghampiri mereka berdua. Ia mengangkat tubuh Emilia dan menggendongnya.
“Kau punya anak?” tanya Danielle kemudian.
Sejenak tentara tersebut memperhatikan boneka yang dipegang oleh Emilia.
“Ibu, lihatlah! Aku punya mainan,”
“Anakku sudah tiada satu bulan yang lalu,” jawabnya kemudian. “Usianya mungkin sama seperti Emilia Boneka itu adalah mainan kesukaannya. Dia tewas tertimpa bangunan bersama ibunya,” terangnya. “Kau harus menjaganya untukku, mengerti?”
Emilia mengangguk.
Suasana hening sejenak. Sejujurnya pria tersebut tak ingin lagi mengingat kejadian tersebut. Bagaimana tidak, ia melihat keluarganya mati tepat di depan matanya. Ia hanya berusaha supaya kejadian tersebut tidak menjadi trauma bagi dirinya. Apalagi menimbulkan rasa dendam yang berlebihan.
“Aku turut berdukacita atas apa yang menimpa keluargamu,”
“Tidak apa-apa,” jelas itu bohong, raut wajah pria tersebut menyiratkan hal yang berbeda.
“Menurutmu, apakah kita bisa hidup berdampingan?”
Pria tersebut tersenyum. “Tentu saja, bumi ini terdiri dari tanah, dan kita tercipta dari tanah,” jawabnya.
Wanita tersebut terdiam, pria tersebut pun akhirnya beranjak meninggalkan mereka.
Hari yang telah ditunggu oleh para tawanan akhirnya tiba. Mereka akan dihantarkan pulang oleh para tentara. Namun, tidak sepenuhnya kebahagiaan yang para tawanan rasakan. Tentu saja perlakuan baik para tentara akan selalu membekas dalam benak mereka. Mereka benar-benar menunjukkan rasa kemanusiaan mereka meski sedang dalam konflik berkepanjangan.
Malam itu satu persatu para tawanan naik ke mobil pengangkut yang telah disiapkan. Mereka menampakkan wajah bahagia atas perlakuan yang mereka dapatkan, meski pula ada yang terharu harus berpisah dengan musuh mereka. Bahkan para lansia memeluk para tentara tersebut seraya menangis.
Tibalah giliran Danielle dan Emilia. Wanita tersebut memperhatikan cukup lama pejuang yang amat baik padanya. Sebelum naik ke mobil ia menyerahkan sesuatu untuknya.
“Kau bisa membacanya nanti,” ucapnya.
Mobil tersebut pun beranjak meninggalkan kemah militer. Pria tersebut pun kembali ke tenda. Bersama beberapa pejuang yang lain ia membuka surat tersebut. Ia membacanya dengan keras di depan mereka.
Untuk para jenderal (pejuang) yang menemani saya beberapa minggu terakhir ini, sepertinya kita akan berpisah besok, tapi saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas kemanusiaan Anda yang luar biasa yang Anda tunjukkan terhadap putriku, Emilia.
Anda seperti orang tua baginya (Emilia), mengundangnya ke ruangan Anda kapan pun dia mau. Dia merasa bahwa Anda semua bukan sekadar teman, tetapi orang-orang tersayang yang sejati dan baik hati.
Terima kasih, terima kasih, terima kasih, atas waktu yang Anda habiskan bersamanya seperti pengasuh. Terima kasih telah bersabar padanya dan memanjakannya dengan permen, buah-buahan, dan segalanya, meskipun tidak tersedia cukup.
Anak-anak tidak boleh berada di zona perang, tapi terima kasih kepada Anda dan orang-orang baik lainnya yang kami temui selama ini, putri saya menganggap dirinya seperti seorang ratu di Gaza...dan, secara umum, dia merasa menjadi pusat dunia.
Kami belum pernah bertemu seseorang dalam perjalanan panjang kami, dari bawahan hingga atasan, yang tidak memperlakukan Emilia dengan kelembutan, perhatian, dan cinta.
Saya akan selamanya menjadi tawanan rasa syukur karena dia tidak meninggalkan tempat ini dengan trauma psikologis yang berkepanjangan (Emilia tidak mengalami trauma).
Saya akan mengingat perilaku baik Anda meskipun Anda menghadapi situasi sulit dan kerugian besar yang Anda derita di sini di Gaza.
Saya berharap di dunia ini kita bisa menjadi teman yang benar-benar baik. Saya berharap Anda semua sehat dan sejahtera.
Kesehatan dan cinta untuk Anda dan keluarga Anda. Terima kasih banyak.
Danielle & Emilia
Oleh: Muhammad Saddam